Rabu, 08 Oktober 2014

Pradana Tatwa

Adapun Pradhana Tattwa merupakan badan Sang Hyang Atman, dalam diri manusia Ambek (pikiran) namanya. Ambek itulah dijadikan wujud Sang Hyang Atman pada diri manusia, sebagai atma yang berada dalam badan. Badan itu namanya angga, Pradhana Tattwa itu namanya Ambek. Ambek dan badan itu disebut angga Pradhana pada diri manusia, yang menyebabkan Ambek menyatu dengan baik dan buruk. Dari Ambek jugalah timbulmya baik dan burukitu, suka dan duka yang dirasakan oleh manusia. Dari Ambek juga timbulnya rasa menikmati objek kenikmatan melalui Dasendriya, berpintukan Dasa Marga. Ambek pun meresap kedalam dunia kenikmatan. Maka sadarlah Sang Nipuna Tattwa (orang yang mengetahui hakikat) akan hal itu. Itulah sebabnya maka Dasendriyahendaknya ditarik dari obyek keinginan, kembalikan ke dalam Ambek. Ambek dikembalikan kedalam Pramana, Pramana dikembalikan ke dalam Dharma Wisesa, Dharma Wisesa dikembalikan ke dalam Anta Wisesa, Anta Wisesa dikembalikan kedalam Ananta Wisesa? Hal ituadalah merupakan tujuan prayogasandhi itu tidak dapat dilaksanakan tanpa tuntunan Samyagjnana (pengetahuan yang benar). Bagaimana caranya mengetahui Prayogasandhi itu? Tanpa Samyagjnana, maka kewisesaannya (keutamaannya) tidak akan ada. Samyagjnana itu tidak akan diperoleh tanpa Bhumi Brata (brata dunia). Tapa, yoga, dan samadhi. Kesimpulannya dengan Bhumi Brata, tapa, yoga dan samadhi sebagai penuntun (suluh) Samyagjnana, dengan perantaraan Prayogasandhi maka dia yang demikian itulah yang dapat mewujudkan keutamaan Ketuhanan, seperti halnya panah yang dipanahkan sesudah memakai busur akan tepat menuju sasarannya. Ada orang melepaskan panah tanpa busur, maka panah itu tidak akan menuju sasarannya. Bila demikian panah itu akan meluncur dengan bebas (saranguntit) lepas dari sasarannya. Maksudnya bila bila ada orang melaksanakan Brata, Tapa, Yoga dan Samadhi dalam mempersiapkan Prayogasandhi, namun tanpa Samyagjnana ketika sedang giatnya melaksakan Samadhi dan dengan Sadhana yang berat, maka orang yang demikian itu adalah orang yang bingung tidak tahu kemana sasaran jiwanya, karena tidak tahu Jnana Tattwa, tanpa tuntunan Samyagjanana. Tentu saja meluncur dengan bebas, bila demikian salah sasaran Samadhi Sang Yogiswara itu. Buahnya Brata saja yang menuntun, minta dinikmati. Bila buahnya Brata habis dinikmati oleh Sang Hyang Atma di sorga, maka Sang Hyang Atma itupun turun kedunia lagi, menjelma menjadi manusia. Ia pun dapat menjadi raja kaya dan menjadi orang yang arif bijaksana. Ia pun adalah manusia denagn sifat-sifat kelahirannya, memiliki kesadaran dan lupa. Bila kebetulan sadar maka orang menyebutnya tingkah laku yang baik, dan bila kebetulan lupa, maka orang memandang itu tingkah laku yang buruk. Demikianlah akhirnya berputar-putar antara sorga dan neraka, manusia dan binatang. Itulah kesannya dalam pikiran (wasana) orang bebas yang tanpa Samyagjnana. Adapun orang yang mula-mula pikirannya sibuk, berakhir dengan wasanya yang tersimpan, ia itu adalah orang yang berusaha mencapai Samyagjnana karena melaksanakan Bhumi Brata, Tapa, Yoga dan Samadhi. Seseorang tidak menguasai samyagjanana, bila tanpa berdasarkan Semadhi. Mengapa demikian? Sattwa, Rajah dan Tamah, mereka tidak mau seiring sejalan, tidak mau berbuat kerahayuan, tidak memikirkandharma dan kebajikan. Demikian kata Sattwa. Kata Rajah: “ Aku marah dan benci”. Kata Tamah: “Enggan, lesu, makan minum, tidur saja”. Semuanya saling bertentangan tidak berkesesuaian sifatnya. Rajah dan Tamah sifatnya bodoh, Sattwa sifatnya terang., arif bijaksana. Maka orang yang arif bijaksana akan sadar akan sifat-sifat demikian, maka itu diteduhkannya Rajah Tamah dalam Semadhi dengan sarana Pranayama, dengan bantuan Citta, Budhi dan Manah. Maka jnana (batin) itupun akan menjadi tenang damai, terang dan jernih, tiada tertutup apapun, tidak kotor. Atma menjadi mudah terhadap Rajah, Tamah, teguh sejalan dengan Sattwa. Sattwa pun bersinar terang. Demikianlah kearifan itu setelah didapat maka Samyagjnana akan dapat dibayangkan. Bila Samyagjnana didapat melalui Kayogiswaran, maka ia mengenal Prayogasandhi dengan Bhumi Brata, Tapa, Yoga dan Samadhi. Yang meluruskan dan tepat olehnya menuju sasaran pada Yoga Wisesa, dengan penuntun Samyagjnana, dengan sasaran Prayogasandhi dengan Bhumi Brata, Tapa, Yoga dan Samadhi. Prayogasandhi itu dipandang sebagai panah yang tajam dan runcing. Samyagjnana dipandang sebagai sapanya, Brata, Tapa, Yoga dan Samadhi dipandang sebagai Dandacapa (panah Danda). Semuanya itu meluncurkan Prayogasandhi bersayapkan Samyagjnana, berbusurkan Brata, Tapa, Yoga dan Samadhi. Inilah Prayogasandhi, hendaknya diingat. Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana, Tarka, dan Semadhi. Ikatan semua itu Sandhi namanya. Hendaknya cetana saja dibiarkan bersinar menyatu, tegak berdiri tanpa mendua, tenang tanpa lenyap, berbadankan Catur Dyana. Yang disebut Catur Dyana ialah: Tisthan, Bhojan, Gacchan dan Suptan. Tisthan artinya Bhatara duduk. Bhojan artinya Bhatara makan. Gacchan artinya Bhatara pergi. Suptan artinya Bhatra tidur. Kesimpulannya hendaknya Bhataralah yang diingat dalam segala gerak prilaku orang, sebab yang disebut ingat itu ialah perwujudan Bhatara dalam diri yang nyata ini. Ada Asana namanya, yaitu Padmasana, Wajrasana,Payangkasana, Swastikasana,Widyasana, Mandasana. Demikianlah Asana itu, enam jenisnya, namun hakikatnya satu. Itulah hendaknya dipilih oleh orang yang melatih prayogasndhi ketika ia hendak duduk. Stelah duduk ia menyimpan Sang Hyang Urip, usahakanlah supaya menyatu. Setelah Sang Hyang Urip tersimpan, maka ia mekakukan Pranayama. Ada Wayu (angin) pembasuh yaitu: Recaka, Puraka,dan Kumbhaka. Recaka ialah keluarkan nafas terlebih dahulu dari mulut. Diamkan dan usahakan(?) kunci, tahan sekuat tenaga. Kemudian hiruplah nafas kembali, yang demikian puraka namanya. Kumbhaka ialah: setelah menghirup nafas , tahan, kunci kuat-kuat. Setelah dapat menguncinya hembuskan keluar melalui Netradwara (pintu mata). Bila belum terlatih, keluarkanlah dari hidung, pelan-pelan jangan tergesa-gesa (?). tujuh Diwasa (saat?) menguncinya. Bila payah hentikanlah. Sungguh-sungguhlah menguncinya agar menyatu. Tujuan pranayama itu ialah menjadikan Rajah dan Tamah teduh kedalam terangnya Sattwa dan jangan hanya pada jasmani saja. Dan ada lagi kunci lain dari itu, yaitu menghembuskan nafas keluar. Pendeknya diam saja. Mari kita ceritkan Recaka, Kumbhaka lebih dahulu agar diusahakan kunci rahasian. Pendeknya Cetana saja dibiarkan bercahaya terang, dudukkan pada Kendalipuspa (bunga pisang). Bila sudah ditempatkan di sana, akan terdengar hati yang teduh, terus sampai ke Antahkarana. Itulah yang disebut memuja Pranasandhilajati, yaitu pujajati, sembah Hyang Suksma. Bila sudah demikian maka melaksanakan Semadhi itu sudah tajam, benar-benar hilanglah Wayu (nafas) yang kasar, mati lenyap keasalnya, sebab atma itu tidak dapat dipikir. Ada Prattyahara Yoga. Semua indriya tari dari obyek kenikmatannya, kumpulkan dalam Citta, Budhi, dan Manah. Jangan biarka ia pergi ke sana ke mari, pusatkan ia pada pikiran yang tak terganggu apapun. Yang demikian itulah Pratyahara Yoga namanya. Batin yang tidak mendua, tidak berubah-ubah, jernih, dengan enaknya, tetap teguh tanpa ditutupi apa-apa, yang demikian itulah Dhyana Yoga namanya. Tutuplah semua pintu yaitu hidung, mulut, telinga. Tarikalah terlebih dahulu nafas, keluarkan melalui ubun-ubun. Bila belum biasa mengeluarkan nafas melalui ubun-ubun, boleh keluarkan dari hidung. Keluarkan nafas itu pelan-pelan. Yang demikian Pranayama Yoga namanya. Ada Omkara Sabda bertempat didalam hati. Hendaknya itu pegang kuat-kuat. Itulah yang menghilangkan apa yang didengar pada waktu ‘Siwa berwujud Siwatman’. Yang demikian itulah Dharana Yoga namanya. Sang Hyang Paramartha (hakikat yang tertinggi) adalah konon angkasa, bedanya dengan angkasa ialah tidak ada sura padanya. Demikianlah hakikat Paramartha itu, dan perbedaanya dengan awang-awang. Persamaannya ialah sama-sama jernih. Yang demikian itulah Tarka Yoga namanya. Bahtin yang tidak mengenal, tidak lupa, tidak mengharap apa-apa, tidak ada sesuatu yang ingin dicapai, jernih tanpa ada yang hilanh(?), tidak ditutupi apa-apa, maka Cetana itu tanpa kesulitan, karena ia tidak lagi memikirkan badan jasmaninya, bebas dari Catur Kalpana, dikenal, mengenal dang membuat kenal.catur kalpana itu tidak terdapat pada Sang Yogiswara, maka dengan mudahlah kehadiran pikiran yang jernih. Itulah yang disebut kembali kedalam pikiran. Itulah awal Cetana dihadirkan. Bila sudah demikian pikiran sudah ditempatkan namanya. Kedua, kesadaran itu supaya dijaga baik-baik. “Ambek (pikiran) kembali kedalam pramana”. Bagaimanakah caranya mengembalikan Ambek kedalam Pramana? Demikianlah Citta, Budhi dan Manah supaya ditarik, biarkan ia berwujud kesadaran yang terang, bagaikan Sphatika (permata putih). Bila tajamnya sudah tidak terganggu lagi, maka yang demikian disebut Sphatikajnana namanya. Bila cahaya Spahatikajnana bersinar tanpa gangguan apa-apa, maka akan dibakarnya sarwa tattwa (semua unsur), subhasubha karma (perbuatan baik dan buruk). Apa yang dipakai membakar Subhasubha karma dan sarwa tattwa? Demikianlah Sang HyangSphatikajnana ditempatkan dalam Brahmasthana. Bila sudah bagus tempatnya, maka bayangkanlah bahwa sarwa tattwa dan Subhasubha karma telah hangus terbakar menjadi abu. Itulah yang disebut memuja, menghoma dalam Kundajati (tungku sejati), yang mengilangkan segala klesa (cemar). Yang demikian itulah Dharana Yoga namanya. Ketida Cetana ditempatkan, Omkara Pranawa ada dalam hati. Ia supaya dilenyapkan dalam Siwa Tattwa. Maksudnya ialah, citta supaya diluputkan dari Angga Pradhana, biarka ia menyatu dalam suksma (alam halus)berwujud Turyapada, sebab sadar, tahu bahwa ia wisesa (unggul), Samar(?) mengamati, tidak mati, seperti tanda-tanda suluh di dalam belanga, tidak bergerak-gerak, tidak hangus. Samar tegak berdiri, menyatu batinmu, berwujud lepas kesadaran, namun belum sunya, bukan tidur, karena sedang dalam berwujud Jagrapada, para Dewata akan menghilang bersatu padu dalam Dhyana.pradhana terikat oleh kesadaran, melesat dari Angga Pradhana(?). ini disebut Abhisandhi, perpisahan Pradhana dengan Purusa, berada antara sadar dan lupa. Bila Sang hyang Atma dalam keadaan demikian kembali disebut Dharma Wisesa, berwujud endapan Saptangga, Saptamreta, ditempati pula oleh Saptagni. Saptangga ialah: Purusa, Sattwa, Rajah, Tamah, Citta, Budhi, Manah, dan Ahangkara. Saptamreta ialah: Sabda, Sparsa, Rupa, Rasa, Gandha, Kinawruhan dan Singkalpa. Saptagni ialah: Manon (melihat), Mangrengo (mendengar), Mangrasa (merasakan), Mengambung (membau), Mangaku (mangaku), Mamastwani (memastikan) dan Mamikalpa (membayangkan). Bila Saptangga sudah diketahui, dijadikan dirinya oleh Sang Yogiswara, maka badannya akan kukuh sempurna, bebas dari gangguan, bebas dari penyakit karena umur tua. Bila Saptamreta sudah diketahui, dijadikan dasar hidupnya, maka akan menyebabkan Sang Yogiswara muda walaupun umurnya berbeda dengan orang yang sebaya. Bila saptagni sudah diketahui berada dalam dirinya, maka akan menyebabkan Sang Yogiswara dapat datang kemana saja, dapat berbuat sekehendak hatinya, sekarang didunia nyata ini, karena Bhatara yang dijunjung bernama Saptagni. Itulah sebabnya Sang Hyang Saptagni yang membakar Saptangga, Saptamreta, sebab ia yang membentuk Upasarga. Upasarga ialah endapan Tri Guna, yang melekati badan atma, yang tidak segera hilang melalui Semadhi. Yang pertama-tama harus dibakar oleh Sang Yogiswara. Manakah Upasarga itu? Bila ada kelihatan seperti Gandharwa, ada seperti Widyadhara yang menyambut Sang Yogiswara pada waktu beryoga dan ada lagi yang berwujud Dewata membawa singgasana emas serta menyuruh Sang Yogiswara supaya duduk dan melihat Rsi datang, memuja dengan hujan bunga, atau mebawa harta kekayaan dn mengajar Sang Yogiswara waktu beryoga, maka yang demikian itu adalah Sattwa Upasarga yang ditemukan oleh Sang Yogiswara. Adapun bila yang dilihat seperti diungkit, diayunkan, diguncang-guncang, diadu, atau pada waktu beryoga badan Sang Yogiswara itu seperti melayang diudara atau tampak(?) Danawa, Daitya, Raksasa merintang Sang Yogiswara, maka bila demikian itu adalah Rajah Upasarga. Adapun bila Sang Yogiswara merasa berat pada waktu beryoga, lupa tak dapat berpikir, seakan-akanhilanglah Cetana (kesadaran) itu, pada waktu beryoga. Bila demikian hati-hatilah tuan tidur, Tamah yang dijumpai oleh Sang Yogiswara, apabila mendapatlkan Upasarga (bencana) pada akhir yoga. Bila demikian tuan dalam keadaan bahaya, karena ada hasil perbuatan buruk yang tuan terima. Maka usahakanlah itu supaya dibakar oleh Sang Yogiswara, bangunkanlah Semadhi itu, dan Sang Hyang Saptagni supaya dipusatkan dalam pikiran, biarkan Semadhi itu bersinar terang, berwujud kesadaran Sarwana (serbatahu), Sarwakaryakarta (serba selesai). Bila nyata Sang hyang Saptagni dalam Semadhi sudah baik, bayangkan semuaUpasarga itu terbakar hangus jadi abu. Akhirnya badan Sang Yogiswara suci bersih, tanpa ditutupi apa-apa, tiada cemar, seperti bersihnya angkasa. Itulah yang disebut Tarka Yoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar